Menjadi kewajiban setiap Muslim menghiasi diri dengan akhlak
yang baik. Melalui akhlak, seorang Muslim akan memiliki rasa malu yang tinggi. Di
tengah-tengan pilkada serentak pada 9 Desember nanti, masyarakat, Komisi
Pemilihan Umum (KPU), dan lain-lain harus bekerja keras untuk mennyukseskan
pilkada serntak ini, tentunya dengan amanah, jujur dn tidak melakukan praktik
politi uang.
Dalam bukunya 'Selangkah Lagi Anda Masuk Surga', Direktur Pusat Kajian Hadis
Jakarta, Ahmad Lutfi Fathullah mengatakan, rasa malu yang dimaksud adalah malu
untuk bertindak salah dan melanggar hukum. "Pribadi Muslim yang baik
memilliki rasa malu. Bukan rasa malu berbuat baik tapi malu berbuat dosa,"
kata dia.
Diriwayatkan Ibnu Umar, Rasulullah berjalan melalui seseorang dari golongan
Anshar yang sedang menasehati saudaranya agar mengurangi rasa malu. Kemudian,
Rasulullah bersabda, biarkanlah dia, sifat malu adalah sebagian dari iman.
(Bukhari Muslim).
Juga diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, iman memiliki tujuh puluh
atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama ialah ucapan la
ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu
yang menggangu jalan. Rasa malu adalah salah satu cabang keimanan. (Bukhari
Muslim).
Saat ini, begitu banyak mereka yang mengaku Islam tapi tidak memiliki rasa malu
berbuat salah. Mulai dari hal besar seperti korupsi hingga dengan mudahnya
memberikan kesaksian palsu.
Padahal memberikan kesaksian palsu merupakan ciri dari orang munafik yang
dibenci Allah. Diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, tanda orang
munafik ada tiga yakni jika berbicara dia berdust, jika berjanji ia ingkar, dan
bila dipercaya dia khianat.
Tiga tanda itu sudah banyak kita lihat. Bahkan kita bisa melihat secara
langsung dari televisi. Diriwayatkan Ibnu Umar, Rasulullah berkata,
sebesar-besarnya dusta adalah seseorang yang memaksakan kedua matanya melihat
padahal dia tidak melihat (Bukhari Ahmad).
Dalam Syarah Riyadhus Shalihin, ucapan palsu didefinisikan sebagai sebuah
kebohongan dan perbuatan yang mengada-ada.
Perbuatan ini merupakan salah satu dari dosa-dosa yang membinasakan dan paling
berat ketentuan hukum haramnya. Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin
menerangkan saksi palsu sebagai seseorang bersaksi terhadap sesuatu yang dia
tidak mengetahui atau mengetahui yang sebaliknya.
Saleh al-Fauzan dalam Fikih Sehari-hari berpendapat, seorang saksi haruslah
menjelaskan apa yang telah ia saksikan dan ketahui. Kesaksian yang benar adalah
sebuah kewajiban yang hukumnya fardu kifayah. Allah SWT berfirman, “Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil.” (QS
al Baqarah [2] : 282).
Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, ini merupakan perintah untuk
menunaikan persaksian dan menyampaikannya kepada hakim. Sebab, hal itu sangat
dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran dan hak.
Dari Abu Bakrah RA,
dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kau kuberi tahu tentang dosa
besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau
bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Ketika
itu beliau sedang bersandar, kemudian beliau duduk lalu bersabda lagi, “Ketahuilah
demikianlah pula ucapan bohong!” Beliau mengucapkannya berulang-ulang sehingga
kami berkata, “Mudah-mudahan beliau diam.” (HR Bukhari Muslim). Allahu A'lam